Tema tersebut menjadi topik untuk Diskusi Ilmiah yang diselenggarakan oleh DEMA STAI Persis Jakarta pada Sabtu (19/10/19) di Ma'had Utsman bin Affan, Jakarta Timur. Berikut materi yang disampaikan Penulis untuk menjadi pengantar diskusi.
Pada perkembangan zaman, Perguruan Tinggi merupakan mesin yang menjadikan zaman menjadi maju. Kerena di Perguruan Tinggi mempelajari solusi dari permasalahan zaman dan melahirkan sarjana yang mampu memberikan solusi tersebut. Seperti Hasan Al Banna kuliah di Darul Ulum, merupakan pendiri dari Ikhwanul Muslimin, salah satu organisasi Islam terbesar dan berpengaruh pada Abad 20. Albert Einstein di Universitas Zurich dengan teori relatiivitas pada dunia fisika modern, atau Soekarno di ITB dengan gerakan revolusionernya hingga Indonesia merdeka.
Berdasarkan data dari kemenristekdikti (Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi) per oktober 2015, jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia berjumlah Sekolah Tinggi sebanyak 2.362 buah, Akademik sebanyak 1.082 buah, Universitas sebanyak 516 buah, Politeknik sebanyak 230 buah, dan Institut sebanyak 133 buah. Adapun jumlah Mahasiswa Indonesia berjumlah 4.428.894. Adapun klasifikasi Perguruan Tinggi dari Kemenristekdikti, Perguruan Tinggi terbagi dua, akademis dan vokasional. Akademis condong kepada teori, jenjang S1. Sedangkan vokasional condong pada praktik, jenjangnya Diploma, D1 ahli pratama, D2 ahli muda, D3 ahli madya , D4 sarjana terapan.
Untuk peristilahan seperti Universitas, sekolah Tinggi, dan sebagainya. Akademi Perguruan Tinggi lebih condong kepada fokus satu vokasional, Politeknik kumpulan vokasional, sedangkan Sekolah Tinggi lebih kepada satu rumpun akademis atau program studi, Institut lebih kepada satu rumpun atau fakultas, dan Universitas punya banyak fakultas, dan prodi.
Visi kemenristekdikti adalah daya saing bangsa, dengan cara skill worker, dan innovation. Menurut CNN pada tahun 2016, penelitian maupun publikasi penelitian di Indonesia masih dibawah negeri tetangga (Malaysia, Singapura, dan Thailand). Padahal ciri kemajuan suatu Bangsa bisa dilihat dari jumlah riset dan Perguruan Tingginya. Menurut Darmaningtyas (Pengamat Pendidikan), Dosen tidak banyak melakukan riset dan publikasi internasional dikarenakan biaya riset yang dikeluarkan pemerintah masih rendah.
Kemudian peringkat Perguruan Tinggi Indonesia di dunia pada tahun 2018 berdasarkan Qs top universitas ranking, Universitas Indonesia peringkat 277 dunia, Institut Teknologi Bandung peringkat 331 dunia, dan Universitas Gajah Mada peringkat 401 dunia. Demikian ranking didasarkan pada reputasi akademis dan pengajar, karya ilmiah publik dalam fakultas, jumlah murid-fakultas, fakultas internasional, dan keragaman murid internasional.
Sesungguhnya Perguruan Tinggi diharapkan bisa melahirkan Sarjana yang unggul dan bisa menjawab permasalahan Masayarakat. Sayangnya cita-cita mulia tersebut dicederai oleh pihak yang mengorientasikan Perguruan Tinggi untuk keuntungan sepihak (Pragmatisme). Dalam hal tersebut Indonesia pun punya catatan kelam. Dari data jumlah Perguruan Tinggi diatas, banyak Kampus berstatus non aktif, per 29 oktober 2015 sebanyak 184 buah. Lokasi kampus non aktif berada di Jakarta sebanyak 19 buah, dan luar Jakarta sebanyak 165 buah.
Adapun indikator Perguruan Tinggi yang dinonaktifkan menurut Berita satu bersumber pada kemenristekdikti adalah rasio mahasiswa dan dosen tidak ideal, proses pembelajaran yang kurang dari 16 pertemuan, konflik internal Perguruan Tinggi, dan kecurangan dalam proses pembelajaran.
Perlu diperhatikan juga mekanisme pendirian Perguruan Tinggi adalah akta pendirian yayasan yang disahkan kemenkumham, memiliki izin pendirian dari kemenristekdikti, tidak menyelenggarakan kelas jauh, menyelesaikan laporan pangkalan data perguruan tinggi (pdpt), memiliki akreditasi ban pt, dan tidak memiliki konflik internal dalam masalah kepemilikan.
Ketika ada Perguruan Tinggi yang tidak memenuhi komponen tersebut, maka Menteri berhak langsung menutup Perguruan Tinggi tersebut. Seperti tahun 2015 lalu, ada wisuda sebanyak 1.200 wisudawan di Tanggerang terdiri dari tiga kampus. Wisudawan membayar Rp.15.000.000, Ketiga Perguruan Tinggi tersebut berstatus non aktif. Menurut Ketua Yayasan Aldiana nusantara yaitu Alimudin Al Murtala bahwasanya Beliau tidak tahu jika wisuda Perguruan Tinggi Swasta harus izin kopertis. Padahal Menristekdikti, Pak Natsir dalam wawancara net tv wisuda Perguruan Tinggi swasta harus lapor ke kopertis h-30, tujuannya mengecek status mahasiswa. Kemudian Beliau menambahkan Perguruan Tinggi non aktif dipersilahkan melaksanakan perkuliahan tetapi dilarang merekrut dan wisuda. Jika mahasiswa korban Perguruan Tinggi ilegal, maka dipindahkan, dituntaskan ke prodi sejenis.
Adanya fenomena seperti demikian, jika ditelusuri karna dunia instansi mensyaratkan ijazah menjadi syarat masuk, naik jabatan, atau mencari pekerjaan. Sayangnya cara kotor tersebut diiringi dengan pengawasan pemerintah yang lemah. Kata Pak Natsir, Kopertis harus mengevaluasi dan memonitor perkembangan Perguruan Tinggi Swasta. Sesungguhnya Masyarakat bisa mengetahui identitas Perguruan Tinggi di www.forlap.dikti.go.id, Akreditasi lembaga dan prodi di Banpt.or.id.
Pencederaan nilai dari sebuah Perguruan Tinggi juga direspon dari berbagai pihak, seperti KPK. "Kejadian di STIE ISM ini adalah contoh nyata perusakan pendidikan Indonesia," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif kepada Tirto, Rabu (28/11/2018). Dari penulusuran Tirto, ditemukan dua kampus bermasalah yang masih beroperasi. Dua kampus itu adalah STIE ISM dan STMIK Triguna Utama. Kedua kampus itu dimiliki oleh Mardiyana dan istrinya, Koes Indrati Prasetyorini. Suami-istri ini pemain lama dalam jaringan mendirikan kampus-kampus fiktif dan menerbitkan ijazah bodong sejak 2000 yang kasusnya pernah mencuat pada 2015. Anggota DPR RI Komisi X Fraksi PPP Reni Marlinawati menilai apa yang terjadi dalam kasus praktik jual beli ijazah yang baru saja mencuat menggerus harkat martabat intelektual pendidikan Indonesia. Tirto menemukan bukti peran Abdul Wahid Maktub, staf khusus Menristekdikti dalam kasus ini. Lewat "memo sakti"-nya, tiga kampus swasta bermasalah itu kembali aktif.
Kemenristekdikti dalam hal ini punya peran penting dalam pembangunan Bangsa melalui pendidikan. Catatan kelam kemarin bisa jadi pelajaran bagi Pemerintah dan Masyarakat untuk belajar sebuah pelajaran, proses, perjuangan, dan penghargaan. Apalagi dalam dunia pendidikan tinggi, nilai keilmiahan dijunjung. Hina sudah jika ijazah dinilai dengan materi atau uang, bukan dari nilai pendidikan. Bicara pendidikan tentu bicara pembangunan bangsa dan bicara kemajuan peradaban. Wallahualam
Muhammad Raihan